Haldien Arundyna

dan aku mulai bertanya dalam hati ku sendiri sudahkah dia tidak mencintai aku

Selasa, 14 Juni 2011

Demensia


BAB I
LATAR BELAKANG

Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami degenerasi. Manifestasi klinik, laboratorik dan radiologik bergantung pada organ dan/atau sistem yang terkena. Perubahan yang normal dalam bentuk dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari perubahan yang disebabkan oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah proses penuaan. Salah satu manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit semacam ini sering dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia. Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung pada faktor penyebabnya, namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM- IV) mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya, tidak dapat mandiri lagi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian umum dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah lansia yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah populasi penderita demensia.
Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) : 45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun.
Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen menderita demensia berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara yang berusia 80 tahun, kira-kira 20 persen menderita demensia berat. Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen menderita demensia Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima persen dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer, dibandingkan dengan 15 sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan mempunyai riwayat cedera kepala.
Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular, yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering ditemukan pada orang yang berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit.
Pada tahun 1970 Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark di otak, dan hal ini melahirkan konsep “demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu sarat. Hal ini dapat dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun pada demensia vaskular sarat ini kurang tepat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      DEFINISI
Ada sejumlah definisi tentang demensia, tetapi semuanya harus mengandung tiga hal pokok, yaitu gangguan kognitif, gangguan tadi harus melibatkan berbagai aspek fungsi kognitif dan bukannya sekedar penjelasan defisit neuropsikologik, dan pada penderita tidak terdapat gangguan kesadaran, demikian pula delirium yang merupakan gambaran yang menonjol.
Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi intelektual seperti daya ingat, pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, dan pemikiran abstrak, sedangkan fungsi vegetatif (diluar kemauan) masih tetap utuh.
Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM- IV) demensia dicirikan oleh adanya defisit kognitif multipleks (termasuk gangguan memori) yang secara langsung disebabkan oleh gangguan kondisi medik secara umum, bahan-bahan tertentu (obat, narkotika, toksin), atau berbagai faktor etiologi. Demensia dapat progresif, statik atau dapat pula mengalami remisi. Reversibilitas demensia merupakan fungsi patologi yang mendasarinya serta bergantung pula pada ketersediaan dan kecepatan terapi yang efektif.

B.      KLASIFIKASI
Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.
·         Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik: Hal ini meliputi hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi, kompleks demensia AIDS, dan sebagainya.
·         Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi: Kelompok ini meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses demielinasi lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma otak; infeksi otak dan meningeal; dan sejenisnya.
·         Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang mencolok: Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick adalah termasuk dalam kategori ini
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia subkortikal. Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang reversibel dan irreversible

C.      BEBERAPA PENYEBAB DEMENSIA YANG DAPAT DIOBATI/ REVERSIBEL
a.       Obat-obatan
anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik (Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
b.      Metabolik-gangguan sistemik
gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.
c.       Gangguan intracranial
insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure hydrocephalus.
d.      Keadaan defisiensi
vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin). Gangguan collagen-vascular systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis, syndrome Behcet.
e.       Intoksikasi eksogen
alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines, bromide, hydrocarbons.

D.     ETIOLOGI
Demensia mempunyai banyak penyebab, tetapi demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular sama-sama berjumlah 75 persen dari semua kasus. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma kepala.
1.      Demensia tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama empat setengah tahun. Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak diketahui penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penderita yang meninggal karena demensia senil mengalami penyakit jenis Alzheimer ini. Pada kebanyakan penderita, berat kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah dan ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal untuk seukuran usia tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan ventrikel lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemisfer serebrum pada penderita manula, khususnya mereka yang menderita penyakit Alzheimer.
Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat peningkatan dramatis (dibandingkan dengan penderita manula normal) dalam jumlah kekusutan neurofibril dan plak neuritik dan juga penurunan 60-90 persen dalam kadar kolin asetiltransferase (enzim yang menghasilkan sintesis asetilkolin) di korteks.

Neuropatologi. Observasi makroskopis neuro-anatomik klasik pada otak dari seorang pasien dengan penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan patognomonik adalah bercak- bercak senilis, kekusutan neurofibriler, hilangnya neuronal (kemungkinan sebanyak 50 persen di korteks), dan degenerasi granulovaskular pada neuron. Kekusutan neurofibriler bercampur dengan elemen sitoskeletal, terutama protein berfosforilasi, walaupun protein sitoskeletal lainnya juga ditemukan. Kekusutan neurofibriler adalah tidak unik pada penyakit Alzheimer, karena keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma Down, demensia pugilistic (punch-drunk syndrome), kompleks demensia Parkinson dari Guam, penyakit Hallervorden-Spatz, dan otak orang lanjut usia yang normal. Kekacauan neurofibriler biasanya ditemukan di korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.
Plak senilis juga dikenal sebagai plak amiloid, adalah jauh lebih indikatif untuk penyakit Alzheimer, walaupun keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma Down dan sampai derajat tertentu, pada penuaan normal.

Protein prekursor amiloid. Gen untuk protein prekursor amiloid adalah pada lengan panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial, sesungguhnya terdapat empat bentuk protein prekursor amiloid. Protein beta/A4, yang merupakan kandungan utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42 asam amino yang merupakan produk penghancuran protein prekursor amiloid. Pada sindroma Down (trisomi 21), terdapat tiga cetakan protein prekursor amiloid, dan pada penyakit dimana terjadi mutasi pada kodon 717 dalam gen protein prekursor amiloid, suatu proses patologis menghasilkan deposisi protein beta/A4 yang berlebihan. Pertanyaan apakah proses pada protein prekursor amiloid yang abnormal adalah penyebab utama yang penting pada penyakit Alzheimer masih belum terjawab. Tetapi, banyak kelompok peneliti secara aktif mempelajari proses metabolik normal dari protein prekursor amiloid dan prosesnya pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer dalam usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Kelainan neurotransmiter. Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologis adalah asetilkolin dan norepinefrin, keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian telah melaporkan data yang konsisten dengan hipotesis bahwa suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik ditemukan pada nukleus basalis Meynerti pada pasien dengan penyakit Alzheimer. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada penyakit Alzheimer adalah penurunan konsentrasi asetilkolin dan kolin asetiltransferase di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin, dan penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase menyatakan penurunan jumlah neuron kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk hipotesis defisit kolinergik berasal dari observasi bahwa antagonis kolinergik, seperti skopolamin dan atropin mengganggu kemampuan kognitif, sedangkan agonis kolinergik, seperti physostigmin dan arecolin, telah dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif. Penuaian aktivitas norepinefrin pada penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan neuron yang mengandung norepinefrin didalam lokus sareleus yang telah ditemukan pada beberapa pemeriksaan patologis otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua neurotransmiter lain yang berperan dalam patofisiologi penyakit Alzheimer adalah dua peptida neuroaktif, somatostatin dan kortikotropin, keduanya telah dilaporkan menurun pada penyakit Alzheimer.

Penyebab potensial lainnya. Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang kekurangan cairan yaitu lebih kaku dibandingkan normal. Beberapa peneliti telah menggunakan pencitraan spektroskopik resonansi molekular (molecular resonance spectroscopic: MRS) untuk memeriksa hipotesis tersebut pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer. Toksisitas aluminium juga telah dihipotesiskan sebagai faktor kausatif, karena kadar aluminium yang tinggi telah ditemukan dalam otak beberapa pasien dengan penyakit Alzheimer.
Suatu gen (E4) telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. Orang dengan satu salinan gen menderita penyakit Alzheimer tiga kali lebih sering daripada orang tanpa gen E4. Orang dengan dua gen E4 mempunyai kemungkinan menderita penyakit delapan kali lebih sering daripada orang tanpa gen E4.

2.    Demensia Vaskular
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.

3.      Penyakit Pick
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima persen dari semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit Alzheimer.

4.      Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang, yang disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan (yaitu, agen infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion adalahscrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem saraf pusat yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan melalui kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat jarang). Semua gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya respon imun inflamasi.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-Jakob dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik, mengenai individual dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi mungkin relatif singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor,
ataksia gaya berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6 sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan kelainan, dan pemeriksaan tomografi komputer dan MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan yang lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa, yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi.

5.      Penyakit Binswanger
Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik kortikal. Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil pada substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Walaupun penyakit Binswanger sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan yang canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa kondisi tersebut adalah lebih sering daripada yang sebelumnya dipikirkan.

6.      Penyakit Huntington
Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal, yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe demensia kortikal (tabel 1). Demensia pada penyakit Huntington ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada stadium awal dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping gangguan pergerakan koreoatetoid yang klasik.

7.      Penyakit Parkinson
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada ganglia basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 sampai 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30 sampai 40 persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur. Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri yang disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).

8.      Demensia yang berhubungan dengan HIV
Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.


9.      Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala
Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga berbagai sindroma neuropsikiatrik.

E.      GAMBARAN KLINIK
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.

1.      Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.
2.      Gangguan orientas
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
3.      Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus.
4.      Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
5.      Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
6.      Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
7.      Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
8.      Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia, walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah kejang, yang terlihat pada kira- kira 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan. Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik, dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, danjer ks mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien. Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan demensia lain.
Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai perilaku abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh tunggal, dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan di antara konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah, untuk memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat pertimbangan yang sehat adalah terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.
Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan interpersonal, adalah menghilang. Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang nyata.

F.      DIAGNOSIS
Diagnosis demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk pemeriksaan suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-teman, dan perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien yang berusia lebih dari 40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis demensia harus dipertimbangkan dengan cermat.
Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa harus diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan, penyangkalan, atau rasionalisasi yang ditujukan untuk menyembunyikan defisit kognitif. Keteraturan yang berlebihan, penarikan sosial atau kecenderungan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam perincian yang kecil-kecil dapat merupakan karakteristik. Ledakan kemarahan yang tiba-tiba atau sarkasme dapat terjadi. Penampilan dan perilaku pasien harus diperhatikan. Labilitas emosional, dandanan yang kotor, ucapan yang tidak tertahan, gurauan yang bodoh, atau ekspresi wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong menyatakan adanya demensia, terutama jika disertai dengan gangguan ingatan.
1.      Demensia tipe Alzheimer
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk demensia tipe Alzheimer menekankan adanya gangguan ingatan dan disertai terdapatnya sekurang-kurangnya satu gejala lain dari penurunan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, atau fungsi eksekutif yang abnormal). Kriteria diagnostik juga memerlukan suatu penurunan yang terus menerus dan bertahap pada fungsi, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan, dan menyingkirkan penyebab demensia lainnya. DSM-IV menyatakan bahwa usia dari onset dapat digolongkan sebagai awal (pada usia 65 tahun atau kurang) atau lambat (setelah usia 65 tahun) dan gejala perilaku yang predominan dapat diberi kode dengan diagnosis, jika sesuai.
2.      Demensia Vaskular
Gejala umum dari demensia vaskular adalah sama dengan gejala untuk demensia tipe Alzheimer, tetapi diagnosis demensia vaskular memerlukan bukti klinis maupun laboratoris yang mendukung penyebab vaskular dari demensia.
3.      Demensia karena kondisi medis lainnya
DSM-IV menuliskan enam penyebab spesifik demensia yang dapat diberi kode secara langsung: penyakit HIV, trauma kepala, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, penyakit Pick, dan penyakit Creutz-feldt-Jakob. Suatu kategori ketujuh memungkinkan dokter menspesifikasi kondisi medis nonpsikiatrik lainnya yang berhubungan dengan demensia.
4.      Demensia menetap akibat zat.
Alasan utama bahwa kategori DSM-IV ini dituliskan dengan demensia dan gangguan yang berhubungan dengan zat adalah untuk mempermudah dokter berpikir tentang diagnosis banding. Zat spesifik yang merupakan referensi silang DSM-IV adalah alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik, dan zat lain atau yang tidak diketahui.

G.      DIAGNOSIS BANDING
Perbaikan yang terus menerus dalam teknik pencitraan otak, khususnya MRI, telah membuat perbedaan antara demensia, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular agak lebih cepat dibandingkan di masa lalu pada beberapa kasus. Suatu bidang penelitian yang sedang giat dilakukan adalah menggunakan tomografi komputer emisi foton tunggal (single photon emission computed tomography; SPECT) untuk mendeteksi pola metabolisme otak dalam berbagai jenis demensia; dan tidak lama lagi, penggunaan pencitraan SPECT dapat membantu dalam diagnosis banding klinis penyakit demensia.
1.      Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskular
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer dengan pemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama satu periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian juga faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
2.      Demensia vaskular lawan Serangan Iskemik Transien
Serangan iskemik transien (transient ischemic attacks/ TIA) adalah episode singkat disfungsi neurologis fokal yang berlangsung kurang dari 24 jam (biasanya lima sampai 15 menit). Walaupun terdapat berbagai mekanisme yang mungkin bertanggung jawab, episode seringkali disebabkan oleh mikroembolisasi dari suatu lesi intrakranial proksimal yang menyebabkan iskemia otak transien, dan episode biasanya menghilang tanpa perubahan patologis yang bermakna pada jaringan parenkim. Kira-kira sepertiga pasien dengan serangan iskemik transien yang tidak diobati selanjutnya mengalami suatu infark otak; dengan demikian,pengenalan serangan iskemik transien adalah suatu strategi klinis yang penting untuk mencegah infark otak.
3.      Delirium
Gangguan memori terjadi baik pada delirium maupun pada demensia. Delirium juga dicirikan oleh menurunnya kemampuan untuk mempertahankan dan memindahkan perhatian secara wajar. Gejala delirium bersifat fluktuatif, sementara demensia menunjukkan gejala yang relatif stabil. Gangguan kognitif yang bertahan tanpa perubahan selama beberapa bulan lebih mengarah kepada demensia daripada delirium. Delirium dapat menutupi dejala demensia. Dalam keadaan sulit untuk membedakan apakah terjadi delirium atau demensia, maka dianjurkan untuk memilih demensia sebagai diagnosa sementara, dan mengamati penderita lebih lanjut secara cermat untuk menentukan jenis gangguan yang sebenarnya.
4.      Depresi
Depresi yang berat dapat disertai keluhan tentang gangguan memori, sulit berpikir dan berkonsentrasi, dan menurunnya kemampuan intelektual secara menyeluruh. Kadang-kadang penderita menunjukkan penampilan yang buruk pada pemeriksaan status mental dan neuropsikologi. Terutama pada lanjut usia, sering kali sulit untuk menentukan apakah gejala gangguan kognitif merupakan gejala demensia atau depresi. Kesulitan ini dapat dipecahkan melalui pemeriksaan medik yang menyeluruh dan evaluasi awitan gangguan yang ada, urutan munculnya gejala depresi dan gangguan kognitif, perjalanan penyakit, riwayat keluarga, serta hasil pengobatan. Apabila dapat dipastikan bahwa terdapat demensia bersama-sama dengan depresi, dengan etiologi yang berbeda, kedua diagnosis dapat ditegakkan bersama-sama.
5.      Amnesia
Amnesia dicirikan oleh gangguan memori yang berat tanpa gangguan fungsi kognitif lainnya (afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan eksekutif/daya abstraksi).
6.      Retardasi mental
Retardasi mental dicirikan oleh fungsi intelektual di bawah rata-rata, yang diiringi oleh gangguan dalam penyesuaian diri, yang awitannya di bawah 18 tahun. Apabila demensia tampak pada usia di bawah 18 tahun, diagnosis demensia dan retardasi mental dapat ditegakkan bersama-sama asal kriterianya terpenuhi.
7.      Skizofrenia
Pada skizofrenia mungkin terjadi gangguan kognitif multipleks, tetapi skizofrenia muncul pada usia lebih muda; disamping itu dicirikan oleh pola gejala yang khas tanpa disertai etiologi yang spesifik. Yang khas, gangguan kognitif pada skizofrenia jauh lebih berat daripada gangguan kognitif pada demensia.

H.     TERAPI
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan tepat pada waktunya. Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium, termasuk pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera setelah diagnosis dicurigai. Jika pasien menderita akibat suatu penyebab demensia yang dapat diobati, terapi diarahkan untuk mengobati gangguan dasar.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris, dan pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus, dan disfungsi kardiopulmonal. Perhatian khusus karena diberikan pada pengasuh atau anggota keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis saat mereka merawat pasien selama periode waktu yang lama.
Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada penyakit kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik. Faktor-faktor tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit jantung, diabetes dan ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus diminta untuk berhenti, karena penghentian merokok disertai dengan perbaikan perfusi serebral dan fungsi kognitif.
1.      Sikap umum
Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:
·         Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan antar komponen belum diketahui secara jelas
·         Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom psiko-organik
·         Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau neuropsikologik, dan perubahan metabolik yang ada
·         Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada, sehubungan dengan aspek farmakologik
·         Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik, terutama dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok penelitian
Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi demensia bukan sekedar pemberian obat-obatan. Pihak keluarga harus diberi penyuluhan tentang situasi demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat penderita di rumah dengan tepat.
2.      Obat untuk demensia
a.       Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian secara keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia alzheimerntidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini juga disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara itu, kombinasi kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks; pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena dapat terjadi interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.
b.      Cholinedan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada neurotransmitter. Pemberian precursor. cholinedan lecithin merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan,   namun demikian tidak memperlihatkan hal yang istimewa. Dengancholine ada sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual. Denganlecith in hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen.
c.       Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat semantik yang berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.
d.      Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering digunakan dalam terapi demensia, ialahnicer goline dan co-dergocrine mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin. Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain,nicergoline tampak bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku.
e.       Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk mengembalikan fungsi kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif; dengan demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial.


BAB III
KESIMPULAN

Kesulitan pada ingatan jangka pendek dan jangka panjang, berpikir abstrak (kesulitan menemukan antara benda-benda yang berhubungan), dan fungsi kortikal yang tinggi lainnya (sebagai contoh, ketidakmampuan untuk menamakan suatu benda, mengerjakan perhitungan aritmatika, dan mencontoh suatu gambar) - semuanya cukup berat untuk mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, terjadi dalam keadaan kesadaran yang jernih, dan tidak disebabkan oleh gangguan mental seperti gangguan depresif berat - menyatakan suatu demensia.
Demensia disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Memperhatikan faktor penyebab tadi, maka ada beberapa jenis demensia yang dapat ditolong dengan mengobati penyebabnya walaupun kadang-kadang tidak mempunyai hasil sempurna. Disamping itu ada jenis demensia yang sampai saat ini belum ada obatnya, ialah demensia pada Creutzfeldt-Jakob dan AIDS. Sementara itu, untuk demensia Alzheimer belum ada obat yang benar-benar manjur.
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan/disepakati dalam DSM-IV. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam melakukan pemeriksaan. Penentuan faktor etiologi merupakan hal yang sangat esensial oleh karena mempunyai nilai prognostik.
Penatalaksanaan demensia secara menyeluruh melibatkan seluruh anggota keluarga terdekat. Dengan demikian kepada anggota keluarga perlu diberikan penyuluhan agar penderita dapat dirawat dengan sebaik-baiknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar